Layar Tancap dalam Sejarah Komunikasi dan Perfilman Indonesia

blog-details
blog-details

Layar Tancap dalam Sejarah Komunikasi dan Perfilman Indonesia

Layar tancap bukan sekadar tontonan, melainkan bagian dari perjalanan komunikasi visual di Indonesia. Sejak masa kolonial hingga era modern, layar tancap telah memainkan peran penting dalam penyebaran informasi dan edukasi kepada masyarakat. Di banyak desa, layar tancap pernah menjadi hiburan yang sangat dinantikan. Saat senja mulai turun, warga bergegas menuju lapangan terbuka, membawa tikar dan bekal sederhana. Truk pembawa proyektor tiba, layar putih dibentangkan di antara dua tiang bambu, dan suara generator mulai berdengung. Anak-anak duduk di barisan depan, sementara orang dewasa bercengkerama menunggu film dimulai. Begitu lampu proyektor menyala, suasana hening, mata tertuju pada kisah yang tersaji di layar, menghubungkan masyarakat dengan dunia yang lebih luas melalui gambar bergerak.

Sejarah layar tancap di Indonesia bermula pada masa pendudukan Jepang tahun 1942. Saat itu, film digunakan sebagai alat propaganda oleh pemerintah militer Jepang melalui organisasi Jawa Enhai. Namun, setelah Indonesia merdeka, layar tancap berubah fungsi menjadi media hiburan rakyat sekaligus sarana penyebaran informasi. Program Film Masuk Desa yang digagas oleh Persatuan Bioskop Keliling Indonesia (PERBIKI) pada tahun 1978, menjadi bukti nyata peran layar tancap dalam mendukung program-program pemerintah seperti Keluarga Berencana (KB), transmigrasi, dan pertanian.

Keunggulan layar tancap terletak pada sifatnya yang mobile (dapat berpindah-pindah), sehingga mampu menjangkau daerah-daerah terpencil yang tidak memiliki akses ke bioskop konvensional. Dengan menggunakan truk yang dilengkapi proyektor dan generator, operator layar tancap membawa hiburan dan informasi ke berbagai pelosok negeri. Pertunjukan biasanya dimulai dari pukul 20.00 hingga tengah malam bahkan menjelang pagi, dengan sesi primetime jika jumlah penonton membludak.

Beberapa tokoh perfilman Indonesia turut berkontribusi dalam perkembangan layar tancap, baik sebagai produsen film maupun sebagai penggerak edukasi melalui film. Salah satunya adalah Usmar Ismail, yang dikenal sebagai bapak perfilman Indonesia dan Ratna Asmara, sosok sutradara wanita Indonesia pertama. Karya-karyanya yang realis dan sarat pesan sosial sering kali menjadi bagian dari tayangan layar tancap di masa awal perfilman nasional.

Layar tancap telah menjadi bagian penting dalam sejarah komunikasi visual di Indonesia. Dari alat propaganda hingga sarana hiburan dan edukasi, perannya dalam masyarakat tidak dapat diabaikan. Meskipun kini tergeser oleh kemajuan teknologi, nilai historis dan budayanya tetap relevan dalam memahami bagaimana informasi disebarkan dan diterima oleh masyarakat Indonesia dari masa ke masa. Menghidupkan kembali layar tancap sebagai bagian dari program edukasi atau festival budaya bisa menjadi cara efektif untuk menjaga warisan komunikasi visual ini tetap hidup dalam ingatan kolektif bangsa.

----------------------

Penulis

Aprilla Putri W dan Munif Badar K

-----------------------

Sumber Referensi :

Abdurrahman, A. I. (2023). Analisis Leisure Dalam Fenomena Bertahannya Layar Tancap. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.

Dinas Kominfo Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. (2015, Oktober 18). Warga ‘Rindu’ Nonton Layar Tancap. Diambil kembali dari Bumi Serumpun Sebalai Provinsi Kepulauan Bangka Belitung: https://serumpun.babelprov.go.id/warga-%E2%80%98rindu%E2%80%99-nonton-layartancap

Erwantoro, H. (2014). Bioskop Keliling Nannya Dalam Memasyarakatkan Film Nasional dari Masa ke Masa. Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Vol. 6 No. 2, 286

 

0 Comments:

Leave A Reply