Jejak Literasi Emansipasi: Kartini dan Peran Surat dalam Sejarah Komunikasi

blog-details
blog-details

Jejak Literasi Emansipasi: Kartini dan Peran Surat dalam Sejarah Komunikasi

Sebelum kehadiran teknologi komunikasi modern seperti email, media sosial, atau aplikasi pesan instan, surat adalah jembatan utama antar manusia untuk menyampaikan informasi, menyusun ide, dan menjalin hubungan. Di masa kolonial Hindia Belanda, surat juga berfungsi sebagai alat perjuangan intelektual dan media ekspresi diri yang tidak mudah didapatkan semua orang terutama perempuan. Salah satu tokoh yang paling menonjol dalam sejarah komunikasi tertulis di Indonesia adalah Raden Ajeng Kartini. Melalui surat-surat yang ia tulis kepada sahabat-sahabatnya di Belanda, Kartini menggugat ketidakadilan gender, membayangkan masa depan pendidikan untuk perempuan pribumi, dan mengusulkan transformasi sosial yang hingga kini terus menjadi inspirasi.

R.A. Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. Ia berasal dari keluarga priyayi Jawa yang cukup terpandang. Kartini sempat mengenyam pendidikan di Europese Lagere School (ELS), di mana ia belajar bahasa Belanda dan mulai mengenal dunia literasi Barat. Namun, seperti tradisi kaum bangsawan Jawa saat itu, ia harus menjalani pingitan setelah usia 12 tahun dan berhenti sekolah. Dalam keterbatasan ruang gerak, Kartini menemukan kebebasan dalam menulis surat. Ia menjalin korespondensi dengan beberapa sahabat pena dari Belanda, di antaranya Rosa Abendanon dan Estelle "Stella" Zeehandelaar. Melalui surat-surat ini, Kartini menuangkan pandangannya mengenai pentingnya pendidikan untuk perempuan, kritik terhadap poligami dan sistem feodal, kegelisahan terhadap diskriminasi kolonial, harapan akan kemajuan bangsa melalui emansipasi. Kartini menulis dengan gaya yang jujur, emosional, namun juga penuh refleksi dan argumentasi logis yang kuat.

“Saya tidak mau lagi mengenyam kebahagiaan seorang diri; saya ingin membaginya, membaginya kepada sebanyak mungkin orang-orang yang menderita, orang-orang yang tidak bahagia."
(Surat kepada Nyonya Abendanon, 4 Oktober 1902)

 

Surat-surat Kartini bukan sekadar catatan pribadi. Ia menjadikannya sebagai medium perjuangan seperti sebuah platform gagasan sebelum era media massa dan internet. Melalui surat, Kartini menyusun strategi, mengartikulasikan keresahan sosial, dan menjalin jaringan internasional yang kelak membuka jalan untuk diterbitkannya surat-surat itu ke dalam bentuk buku. Setelah Kartini wafat pada usia muda (25 tahun), kumpulan suratnya disusun oleh J.H. Abendanon, seorang mantan Menteri Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda yang diterbitkan pada tahun 1911 dengan judul Door Duisternis tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini menjadi dokumentasi penting tentang situasi sosial-budaya Hindia Belanda dan ide-ide awal gerakan emansipasi perempuan pribumi.

Kartini sadar betul bahwa perubahan sosial hanya bisa dicapai melalui pendidikan dan literasi. Dalam banyak suratnya, ia menyampaikan keinginan untuk mendirikan sekolah bagi perempuan. Baginya, literasi bukan hanya tentang membaca dan menulis, tapi juga menyadari posisi diri dalam struktur sosial dan berani mengusulkan perubahan.

“Kami perempuan tidak boleh belajar, tidak boleh berpikir, tidak boleh membaca, tidak boleh menulis. Dan mengapa semua itu?”
(Surat kepada Stella Zeehandelaar, 25 Mei 1899)

Gagasan Kartini adalah revolusioner pada zamannya. Ia membayangkan perempuan yang bebas berpikir dan mampu berkontribusi aktif bagi kemajuan bangsa bukan sekadar menjadi pelengkap dalam rumah tangga. Warisan Kartini bukan hanya dalam bentuk fisik sekolah atau buku, tetapi terutama dalam semangatnya, seperti keberanian berbicara, kekuatan pena, dan visi tentang masa depan yang setara.

Di era komunikasi digital saat ini, kita mungkin tak lagi menulis surat dengan tangan. Namun, semangat literasi dan keberanian Kartini untuk menyuarakan gagasan melalui media komunikasi tetap relevan. Kartini adalah ikon sejarah komunikasi di Indonesia yang mana ia dapat membuktikan bahwa kata-kata bisa mengubah dunia. R.A. Kartini menunjukkan bahwa dalam keterbatasan, surat bisa menjadi alat perlawanan. Dalam keheningan ruang pingitan, ia justru menciptakan riuh gelombang perubahan yang tak terbendung. Surat-suratnya menginspirasi dan membuka jalan bagi generasi perempuan Indonesia untuk berpikir bebas, berpendidikan, dan turut membangun negeri. Dari sosok R.A. Kartini juga mengajarkan bahwa komunikasi adalah kekuatan dan menulis adalah tindakan perubahan.

Sumber Gambar: https://commons.wikimedia.org/ 

-----------------------------

Referensi

Kartini, R.A. (2004). Habis Gelap Terbitlah Terang. Terjemahan oleh Armijn Pane. Jakarta: Balai Pustaka.

Rachmah Ida. (2008). “Perempuan dan Literasi di Era Kolonial: Membaca Kartini Melalui Surat-suratnya”. Jurnal Komunikasi Indonesia, Universitas Airlangga.

Situmorang, B. (2017). Perempuan dan Sejarah Komunikasi: Kartini sebagai Pelopor Literasi. Jakarta: Kominfo Press.

----------------------------

Penulis

Restu Ilhamaya

0 Comments:

Leave A Reply